Thursday, February 17, 2011

Merajut Cita di bawah Purnama





Malam itu purnama bersinar terang sekali. Mungkin hampir sama dengan keindahan purnama malam ini. Sebuah keindahan alami yang sering terlewatkan karena gemerlap lampu yang terang benderang. Malam-malam terus berganti, bulan di pucuk langit mengubah bentuk dari sabit kemudian makin membesar dan sampai berwujud bulan separuh. Lalu terus mengembang hingga membentuk purnama yang indah. Kemudian mengecil lagi hingga ia hilang sama sekali meninggalkan langit yang hitam mengkelam.


Rasa-rasanya cerita tentang purnama ini adalah bagian kisah masa lampau yang kini tak ada lagi. Seakan kisah ini hanya bagian kehidupan masa kecil yang ikut pergi seiring berlalunya masa itu. Malam-malam terus bertukar, bentuk bulan pun terus berganti dari sabit menuju purnama untuk kemudian hilang di akhir. Kembali ke bentuk pertama di awal bulan berikutnya.

Padahal keindahan nun jauh di langit malam gulita yang dulu pernah ada ternyata hingga kini masih ada. Rona purnama masih tetap seperti dulu dengan gurat-gurat lukisan yang menyimpan beragam cerita di sana. Sebuah panorama yang sejak lama luput kita saksikan.

Di bawah purnama seperti inilah lelaki itu terus menulis. Di dalam hati dan pikirannya ada dunia pengetahuan yang sangat luas. Dari tangannya mengalir untaian kata dengan sangat deras membentuk kalimat dan sebuah penjelasan utuh dari sebuah ilmu yang mendalam. Ia berlomba bersama purnama. Hanya purnama itu yang ia andalkan. Sebab tidak ada penerangan sama sekali. Keinginan yang terus bergejolak di alam jiwa untuk mempersembahkan sesuatu yang berarti untuk umat manusia yang membuatnya menulis dan terus menulis.

Saat purnama bersembunyi di balik awan, ia terpaksa ikut berhenti. Sebab yang ada tinggallah gulita. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Saat purnama itu muncul ia segera kembali berpacu dengan waktu. Ia terus menulis dan menulis hingga matanya berair. Ajal selalu mengintai dan tidak ada waktu untuk berhenti. Tak henti tangannya bergerak hingga akhirnya matanya yang menyerah, tidak kuat melayani ketinggian semangat yang ia miliki. Terus begitu sepanjang waktu.

Hingga akhir hayat itu tibalah. Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir, salah seorang ulama ahli tafsir terkemuka menghembuskan nafasnya untuk menghadap Rabb-nya pada tanggal 26 Sya’ban tahun 774 H dengan puas. Ia berhasil meninggalkan karya berharga untuk umat manusia sepanjang sejarah. Kitab Tafsir Ibnu Katsir (yang terdiri sembilan jilid besar) dan kitab sejarah Al-Bidayah wa Nihayah (yang terdiri dari tujuh jilid besar) adalah diantara karya yang ia tinggalkan. Kitab-kitab itu menjadi saksi akan semangat yang tinggi, ilmu yang luas dan pemikiran yang mendalam.

Kelak kita pasti akan menyusul Ibnu Katsir ke alam barzakh. Entahlah, apakah kita bisa bergembira seperti Ibnu Katsir karena telah meninggalkan sebuah karya atau tidak. Yang jelas kita tidak perlu lagi berlomba dengan cahaya purnama, sebab kini lampu yang ada dapat bersinar dengan terangnya. Kalau pun ia padam, masih ada pelita-pelita pengganti. Kalau pun pelita itu tak ada, maka di luar sana sang purnama masih mau menemani dengan setia. Ada juga sepoi angin sejuk yang ikut menemani siapa yang ingin menggoreskan tintanya.

0 comments:

Post a Comment

Menjemput Harapan is wearing Blue Weed by Blog Oh! Blog | To Blogger by Gre at Template-Godown